Jumat, 22 April 2011

Norman Pulang, Polisi Kembali

Briptu Norman Kamaru, polisi “aneh” asal Gorontalo ini , pada akhir-akhir ini menghipnotis semua orang yang ada di setiap ruangan yang memiliki benda bernama Televisi. Setiap saat nama Norman Kamaru disebut, berita, infotainment, talk show, sampai reality show.
Padahal semestinya remaja Indonesia terkonsentrasi dengan kedatangan artis penyanyi muda asal Hollywood, yang juga terkenal lewat situs youtube, Justin Beaber. Hampir saja Justin terlupakan, karena histeria seluruh warga ke Norman.
Sang polisi berwajah intertiner ini mendadak terkenal sejak seseorang mengunduh “Polisi Gorontalo Menggila”. Awalnya ia dihukum gara-gara ulahnya mempermalukan wajah polisi. Tapi ternyata hukuman ke Norman tidaklah berat, dikarenakan jutaan warga Indonesia terhibur dan senang dengan ulahnya. Inilah seharusnya polisi…harap warga.
Polisi memang tidak harus tampak garang. Polisi juga harus bisa menghibur. Polisi juga mesti senyum sebagaimana senyum Norman yang lebar. Itulah polisi. Semua korps polisi, serempak seakan-akan mengaku sadar: ia begitulah seharusnya kami.
Namun, ternyata, di daerah yang masih tetangga dengan daerah Briptu Norman. Di Palu, Polisi malah meresahkan. Sebanyak 12 orang anggota Direktorat Sabhara Polda Sulteng, melakukan tindakan tak terpuji, mereka melakukan pengrusakan terhadap rumah juga sepede motor warga di jalan Veteran, Kelurahan Tanamodindi, Palu Selatan, minggu malam (17/8).
Arogansi polisi masih juga tampak. Bersikap bar-bar tak ubahnya orang “patah pensil”. Kekuatan fisik yang dilatih dan senjata yang dititipkan ternyata digunakan untuk mensugesti masyarakat agar takut kepada mereka.
Saat kunjungan Dewa Parsana ke Tokoh kharismatik Sulteng HS Saggaf Aljufri, Kapolda Sulteng Dewa Parsana mengungkapkan, ia tak mau kejadian Buol terulang kembali. Ia tak mau arogansi Polisi terus ada pada cultur mereka. Ia tak mau ada sekat antara warga dan polisi, namun senyatanya harapan itu dilanggar oleh anak buahnya di daerah Kota ini.
Lambat laun kita semakin skeptis dengan polisi. Harapan agar mereka memiliki kedekatan pada publik tidak akan bisa dilkakukan, manakala arogansi itu terus terlihat di mata kita. Sikap otoriter dan antikritik masih juga ada pada polisi.
Mari kitaa saksikan lagi Televisi, Norman sudah pulang kampung. “Saya capek,” keluh Norman. Artinya Norman tak ingin jadi intertainer sebagaimana harapan masyarakat banyak. Barangkali Norman akan meredup seiring dengan konsentrasinya di kepolisian. Jadi tak ada lagi kesan ada Norman, yang ada adalah Polisi tetap seperti semula.. atau polisi kini kembali.

Makan Coto Bersama Minggu Ini, dan Esok?

Pasangan Longki Djanggola dan Sudarto telah ditetapkan sebagai pemenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulawesi Tengah. Sebagai rasa syukurnya, Longki’s pun mengundang warga untuk makan coto bersama, GRATIS.

Siapapun dia, dipersilahkan makan coto, entah pemilih Longki’s maupun bukan pemilih, semua berhak memakan makanan fovorit warga Sulawesi tersebut. Asyik kan?

Luar biasa Gubernur baru kita mendatang ini. Tak sedikit uang di kantongnya, entah darimana uang itu. Tentunya bukan sepenuhnya dari kantong sang Longki’s. Tapi dari beberapa perusahaan yang membekinginya.

Sejak setahun lalu, Longki Janggola memang sudah mempromosikan diri sebagai calon Gubernur mendatang. Saat itu, kita ingat benar baliho-baliho Longki sudah banyak bertebaran. Iklan-iklan politiknya juga sudah bermunculan di media.

Dari biaya iklan politik tersebut tentulah tidak remeh temeh dana yang dikeluarkan. Saat kampanye kemarin apalagi, di Metro TV, salah satu media nasional terkemuka, Longki’s juga memasang Iklan. Tak usah dibayangkan berapa milyar yang dikeluarkannya. Mungkin telah cukup diperuntukkan bagi penyejahteraan warga Sulteng.

Lantas kini ia menerima hasilnya, uang yang keluar itu tak sia-sia. Ia menang. Dalam kemenangan ini, ia ingat betul perut rakyat. Silahkan makan sepuasnya di warung coto.

Kita berharap upaya pemenuhan isi perut ini masih akan berlanjut dan permanen. Tentunya bukan melulu mentraktir coto, melainkan mensejahterakan rakyat melalui program jitunya. Memberikan solusi pamungkas untuk kemakmuran warga.

Atau takutnya, bukannnya perut terpenuhi, melainkan harus menerima konsuekensi. Menggerus masyarakat kelas bawah. Karena politik balas jasa akan perusahaan yang telah membekinginya. Tidak yang gratis bagi pengusaha. Jadi coto boleh jadi gratis untuk warga Sulteng, tapi siapa bilang gratis untuk Longkis. Longki’s mau tak mau, suka atau tak suka harus memenuhi keserakahan pengusaha. Baiklah, kita hanya bisa berdoa mudah-mudahan Longki’s menjadi pemimpin bijak…

Kamis, 07 Mei 2009

Antasari & Cinta Birahi

detikcom - Kamis, Mei 7

Antasari Azhar memang tokoh fenomenal. Kali pertama duduk sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ia diragukan. Tapi ternyata berhasil gilang-gemilang. Kini ketika sudah di pucuk langit tiba-tiba jatuh ke dasar jurang. Hancur nama dan karirnya. Dia disangka menjadi aktor intelektual dari pembunuhan Nasrudin, lelaki yang diduga rivalnya dalam berebut cinta dengan Rhani Juliani.

Kasus ini bak panah Pasopati. Diluncurkan satu berkembang menjadi ribuan asumsi. Tiap asumsi melahirkan ribuan tafsir. Dan saban tafsir ditafsir ulang para penafsir berdasar strata sosial. Kita tidak ke sana. Kita simpel-simpel saja sambil menunggu proses hukum berjalan. Itu agar tidak ikut terperosok dalam kubangan pendapat yang sudah penuh polutan.

Lepas Antasari salah atau tidak terbukti, tapi cinta yang menjadi pangkal kejatuhan. Cinta terhadap lawan jenis sebagai ranjau penghadang. Cinta ini memang ‘seteru purba’ laki-laki. Itu bisa dirunut dari tragedi Habil dan Qobil, Julius Caesar-Cleopatra, Napoleon Bonaparte dan Josephine, Bill Clinton dengan Monica Lewinski, sampai Yahya Zaini-Maria Eva, Max Moein-Desi, Al Amin-Eifel dan kini Antasari-Rhani. Semua berlatar cinta. Cinta birahi.

Cinta ini diskenario atau bukan selalu punya hulu ledak yang ampuh. Yang penampil punya rumus ‘gumuk manukan’ demi karir dan popularitas. Pakem primbon ledek itu mensyaratkan penyerahkan keperawanan bagi maesenas potensial. Dia tidak tabu jadi gundik. Dan rata-rata punya amalan yang dirapal saat ritus seks agar sang lelaki mana saja yang mengencani lengket kayak prangko.

Matahari, agen spionase berdarah Jawa-Belanda juga mengumpan tubuhnya untuk mengorek informasi. Itu demi tugas yang disandang sebagai agen rahasia. Sedang untuk kepentingan bisnis seks, Hartono yang dulu ‘juragan ayam’ mewajibkan ‘ayam-ayamnya’ mempelajari teori senggama kala pagi sebelum praktek. Mereka menyimak seksama video porno, dan menyimpan di mimetiknya kelemahan laki-laki.

Eksplorasi total kelebihan genital itu letak kekuatan di balik kelemahan wanita. Wani ditata, berani ditata, diatur laki-laki. Tidak terbayangkan lagi powernya kalau dia jadi perempuan. Keliaran berpadu dengan kecerdasan dan kebebasan berekspresi, maka hampir pasti laki-laki mana saja klepek-klepek dibuatnya.

Kekuatan dan kelemahan perempuan memang kodrat. Sama dengan laki-laki. Untuk itu agama dan hukum mengaturnya agar harmonis, tidak barbar dan chaostis. Maka ketika Nasrudin terbunuh dengan luka tembak bermotif wanita, maka kita seperti dibawa ke zaman baheula. Zaman sebelum kenal peradaban.

Kita makin tak habis pikir tatkala tersangka pembunuhan itu diduga ‘diotaki’ Sigid Haryo Wibisono bos Harian Merdeka, mantan Kapolres Williardi Wizar dan Antasari Azhar. Itu pula yang menyulut beragam spekulasi. Ada yang menebak ‘orang-orang besar’ itu dijebak atau masih tersembunyi lagi ‘orang yang lebih besar’ yang mendalangi.

Motifnya memang gampang dicari dari celah-celah aktivitas serta pergaulannya. Dari persaingan bisnis hingga kompetisi jabatan yang ketat. Bisa pula melalui asumsi skenario terencana agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipandegani Antasari mandeg kiprahnya.

Sejauh dari pemberitaan yang gencar, rasanya motif itu gampang tanggal. Indikasi yang mengarah kesana amat lemah. Justru dari hari ke hari kesan keterlibatan ‘orang-orang besar’ itu semakin mengental. Memang mereka bukan eksekutornya. Tapi bukti materiil menguatkan keterlibatannya.

Jika hukum kelak mampu menyibak di balik keremangan kasus ini, maka dengan segala rasa sakit dalam dada, kita wajib memberikan apresiasi. Itu sebagai sinyal hukum di negeri ini mulai tegak. Tidak pandang teman, tidak pandang institusi, dan tidak pandang jabatan. Sebab kita tahu bagaimana kedekatan Sigid Haryo Wibisono dengan penyidik, juga Williardi Wizar mantan Kapolres Jakarta Selatan serta Antasari Azhar.

Memang sulit kita menerima ‘kenyataan’ ini. Itu karena hati kita sudah lama terstimulasi untuk memberi hormat. Laku dan tindak mereka sangat baik dan terpuji. Malah sedang tumbuh keyakinan di batin ini, bahwa tokoh-tokoh yang siap jadi martir bagi perbaikan negeri ini mulai bermunculan untuk membawa Indonesia ke gerbang yang dicita-citakan.

Adakah mereka memang melakukan perbuatan barbarik itu? Ini yang sedang kita tunggu sama-sama!


* Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Selasa, 31 Maret 2009

Dua Terpendam, Satu Mendendam


Abu-abu
Terbang seperti debu
Datang membawa biru
Biru lebam

Pergi lagi abu-abu
Hidupku begitu
Bahkan dua abu-abu
Sunguh merayu
Warna itu terpendam

Masih abu-abu
Hidupku begitu
Ingin bertemu dengan salah satu
Dua juga, bila perlu
Tapi ku masih ragu
Ku pun diam

Hitam kelam
Imbas dekapan dalam geram
Hasil cerita bahasa bualan
Hitam itu sangat hitam
Ia mendendam

Sebentar Lagi

Pemilu sebentar lagi.
Contreng apa coblos ya? Jawabannya centang, eh contreng, tapi bisa juga nyoblos. Yaaa mana aja deh, terserah komiu!
Pilih partai mana ya? silahkan menilai, semua partai punya cita-cita yang baik. Tapi lihat kadernya, jangan2 oportunis... Kalau salah pilih, kasian rakyat.
Golput? Jangan lah! satu menit dalam bilik menentukan nasib anda lima tahun. sebaliknya, tak memilih tak memberikan pengaruh kecuali beruntung jika pemimpinnya baik atau rugi kalau pemimpinnya buruk.
Partai mana yang menang? kita lihat saja!

Minggu, 15 Maret 2009

Dokumentasi Silaturahim Sosial di Kalukubula

Foto-foto ini diambil saat kunjungan Silaturahim Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adyaksa Dault, ke Desa Kalukubula, Sabtu (14/2).




Melihat Siapa?- Seorang siswi SMA Alkhairaat Kalukubula, yang menunggu Menpora, Adyaksa Dault, pada kunjungan silatrahmi sosial melihat kendaraan melaju.



Rebana Jingkrak
- Inilah group rebana lokal, tampak seorang perebana berjingkrak.







ADJ- Akhirnya Datang Juga













Aqua Kita Harus Sesuai Status- Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault dan Bupati Sigi Hidayat.




Rukun- Semua pimpinan beragama foto bersama Menpora Adyaksa Dault, usai penandatnagan MoU perdamaian






Supupuku
- Ibu-ibu ini adalah sepupu-sepupuku.










Aneka- Berbagai macam ekpresi wajah, perhatikan sendiri!

Rabu, 25 Februari 2009

Sahabat Kecil...Sejenak Ku Mengingat


Sahabat Kecil

Kau jauh melangkah
Melewati batas waktu
Menjauh dariku
Akankah kita berjumpa kembali

Sahabat kecilku
Masihkah kau ingat aku
Saat kau mendungkan
Segala cita dan tujuan mulia

Tak ada suatu masa
Seindah saat kita bersama
Bermain-main hingga lupa waktu
Mungkinkah kita kan mengulangnya..

Tiada...Tiada lagi tawamu
yang slalu menemani segala
sedihku...

Tiada...Tiada lagi candamu
yang selalu menghibur disaat
ku gurauan

Bila malam tiba
Ku slalu mohonkan doa
Menjaga jiwamu
Hingga suatu masa bertemu lagi

Syair di atas nerupakan lirik lagu dari Gita Gutawa, mungkin sudah ada yang pernah mendengarkan lagu tersebut? Bagaimana rasanya? Ah...hiksss... mendengarnya, kan dibelai kenangan masalalu. Teman kecil pun melambai memanggil dimemori. Suara tawa yang tenor terngiang dan terus berdengung di telinga. Ah betul-betul hanyut...kita hanyut terbawa arus sungai madu sembari mendengar gaduh cekikikan bocah-bocah kecil.

Tersusunlah puzzle, bergambar wajah anak-anak kecil itu. Huruf demi huruf telah menyambung, namaku Nanang, Rohzikin, Wadud, Budi, Rahman, Pandi dan banyak lagi, semua tersusun indah. Puzzle memori mengingatkan aku pada masa kecil. Anak-anak yang riang bermain, di sawah, berperang lumpur, bermain tanah liat, membuat baling-baling dan terompet dari janur, hingga berenang di sungai Palu.


Belum lagi, lantaran kasih yang terpatri kita saling bermusuhan karena diantara kita acuh. Cemburu membara tak mampu dibendung, 'jangan kau ambil temanku kawanku! jangan lagi kau jadikan aku sahabatmu kawanku! Karena aku memilih temanku menjadi kawanku,' begitulah kata hati kita di kala kita meboikot diri untuk seuntai kata saja. Wah sungguh tidak indah permusuhan...

Sehari, tak mampu otak ini mengingat dan mengelilingi canda riang, suka duka, dan ego kekanak kanakan kita. Semuanya itu hanya selintas membelai memori, memaksa kita tersenyum di kesunyian ataupun menangis menatap bintang yang ditatap oleh semua manusia di bentang alam ini, atau memandang tanah yang diinjak oleh kawan di kejauhan.

Kembali pada masalalu adalah mustahil, menghadapi masadepan adalah kepastian. Namun mampukah kita kembali ke masalalu walau hanya lewat kenangan? Akankah kita meyatu dalam pertemuan, walau sejenak? Paling tidak saling mengumbar tawa bariton ini, seakan ia pun tenor dengan cerita kecil kita. Mungkinkah kita berjumpa lagi dalam masa itu?


Untukmu Teman

Di sini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menghulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru

Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ikatanku
Kepadamu teman
Agar ikatan ukhuwah kan
Bersimpul padu

Kenangan bersamamu
Takkan ku lupa
Walau badai datang melanda
Walau bercerai jasad dan nyawa

Mengapa kita ditemukan
Dan akhirnya kita dipisahkan
Munkinkah menguji kesetiaan
Kejujuran dan kemanisan iman
Tuhan berikan daku kekuatan

Mungkinkah kita terlupa
Tuhan ada janjinya
Bertemu berpisah kita
Ada rahmat dan kasihnya
Andai ini ujian
Terangilah kamar kesabaran
Pergilah derita hadirlah cahaya
(Lirik lagu: Brother)

(ha ha ha ha ha ha ha...............melo juga ana ini???)



(Naskah: Nanang, Lirik: Gita Gutawa dan Brother, Foto: www.epochtimes.co.id, nanang (anak sawah serta canda galang dan arman) dan just-yasin.blogspot.com.